Jakarta - Berbicara soal kecintaan masyarakat Indonesia
akan batik, walaupun terkesan besar hingga diperjuangkan mati-matian
saat ada negara lain mengklaim miliknya, namun usaha yang ditunjukkan
justru bertolak belakang. Jika ditelusuri, masih banyak masyarakat yang
mengenakan batik imitasi.
Beberapa perusahaan hingga instansi memberlakukan hari memakai batik dalam kurun waktu lima hari kerja. Banyak pula yang tetap mengenakannya untuk acara formal. Namun dikarenakan ingin memiliki banyak pilihan untuk dikenakan sehari-hari, banyak yang memilih untuk membeli batik tiruan yang mudah didapatkan di pusat grosir dengan harga kurang dari Rp 30 ribu.
Batik-batik yang dijual di pusat grosir dengan harga sangat murah ini, sudah cukup menjelaskan bahwa batik tersebut bukan yang dikerjakan dengan benar oleh para pembatik yang butuh waktu lama. Faktanya, proses pembuatan batik yang dikerjakan oleh pengrajin sebenarnya, memerlukan ketelitian tinggi, apalagi jika menyangkut batik tulis.
Menurut desainer Taruna Kusmayadi, Ketua Umum Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) yang ditemui Wolipop Jumat (23/11/2012) di Kemang, Jakarta Selatan, hal ini membuat industri mode lokal khususnya batik menjadi rancu. Ada kekeliruan yang mau tidak mau menjadi sah-sah saja atas pertimbangan tertentu. "Kita dijejali hal yang imitasi tapi gimana ya? Gapapa juga? mereka perlu hidup," ujarnya.
Menyikapinya, Taruna menghimbau masyarakat agar tahu mana batik yang otentik dan tiruan. Ia melihat pendidikan akan Batik Indonesia sendiri tidak banyak orang yang tahu. Kebanyakan hanya tahu itu motif batik. Soal asal-usul, cerita di baliknya, batik yang ditulis, dicap atau hasil cetakan mesin, masih terbilang kurang.
Banyaknya masyarakat Indonesia yang masih senang membeli batik tiruan, selain harga yang terjangkau, juga karena faktor senang membeli imitasi dengan harga murah.
"Meskipun secara ekonomi berada dan mampu beli yang asli, orang kaya masih banyak yang pakai tas tiruan dan enggak peduli kalau hal itu jatuhin diri sendiri," kritiknya.
"Sosialisasi tentang batik masih kurang. Harus ada yang mencontohkan misalnya batik tulis yang bagus itu depan belakang tetap rapih motifnya. Batik yang benar itu, meskipun motif sama warna pasti beda, bahkan motif pun tidak bisa sama karena pengerjaan tangan manusia beda dengan dicetak mesin," pungkas desainer yang akrab disapa Nuna ini.
(fer/hst)
Beberapa perusahaan hingga instansi memberlakukan hari memakai batik dalam kurun waktu lima hari kerja. Banyak pula yang tetap mengenakannya untuk acara formal. Namun dikarenakan ingin memiliki banyak pilihan untuk dikenakan sehari-hari, banyak yang memilih untuk membeli batik tiruan yang mudah didapatkan di pusat grosir dengan harga kurang dari Rp 30 ribu.
Batik-batik yang dijual di pusat grosir dengan harga sangat murah ini, sudah cukup menjelaskan bahwa batik tersebut bukan yang dikerjakan dengan benar oleh para pembatik yang butuh waktu lama. Faktanya, proses pembuatan batik yang dikerjakan oleh pengrajin sebenarnya, memerlukan ketelitian tinggi, apalagi jika menyangkut batik tulis.
Menurut desainer Taruna Kusmayadi, Ketua Umum Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) yang ditemui Wolipop Jumat (23/11/2012) di Kemang, Jakarta Selatan, hal ini membuat industri mode lokal khususnya batik menjadi rancu. Ada kekeliruan yang mau tidak mau menjadi sah-sah saja atas pertimbangan tertentu. "Kita dijejali hal yang imitasi tapi gimana ya? Gapapa juga? mereka perlu hidup," ujarnya.
Menyikapinya, Taruna menghimbau masyarakat agar tahu mana batik yang otentik dan tiruan. Ia melihat pendidikan akan Batik Indonesia sendiri tidak banyak orang yang tahu. Kebanyakan hanya tahu itu motif batik. Soal asal-usul, cerita di baliknya, batik yang ditulis, dicap atau hasil cetakan mesin, masih terbilang kurang.
Banyaknya masyarakat Indonesia yang masih senang membeli batik tiruan, selain harga yang terjangkau, juga karena faktor senang membeli imitasi dengan harga murah.
"Meskipun secara ekonomi berada dan mampu beli yang asli, orang kaya masih banyak yang pakai tas tiruan dan enggak peduli kalau hal itu jatuhin diri sendiri," kritiknya.
"Sosialisasi tentang batik masih kurang. Harus ada yang mencontohkan misalnya batik tulis yang bagus itu depan belakang tetap rapih motifnya. Batik yang benar itu, meskipun motif sama warna pasti beda, bahkan motif pun tidak bisa sama karena pengerjaan tangan manusia beda dengan dicetak mesin," pungkas desainer yang akrab disapa Nuna ini.
(fer/hst)
sumber: wolipop.com