Monday, November 26, 2012

Dilema Batik: Orang Indonesia Cinta Tapi Hobi Beli Tiruan

Jakarta - Berbicara soal kecintaan masyarakat Indonesia akan batik, walaupun terkesan besar hingga diperjuangkan mati-matian saat ada negara lain mengklaim miliknya, namun usaha yang ditunjukkan justru bertolak belakang. Jika ditelusuri, masih banyak masyarakat yang mengenakan batik imitasi.

Beberapa perusahaan hingga instansi memberlakukan hari memakai batik dalam kurun waktu lima hari kerja. Banyak pula yang tetap mengenakannya untuk acara formal. Namun dikarenakan ingin memiliki banyak pilihan untuk dikenakan sehari-hari, banyak yang memilih untuk membeli batik tiruan yang mudah didapatkan di pusat grosir dengan harga kurang dari Rp 30 ribu.

Batik-batik yang dijual di pusat grosir dengan harga sangat murah ini, sudah cukup menjelaskan bahwa batik tersebut bukan yang dikerjakan dengan benar oleh para pembatik yang butuh waktu lama. Faktanya, proses pembuatan batik yang dikerjakan oleh pengrajin sebenarnya, memerlukan ketelitian tinggi, apalagi jika menyangkut batik tulis.

Menurut desainer Taruna Kusmayadi, Ketua Umum Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) yang ditemui Wolipop Jumat (23/11/2012) di Kemang, Jakarta Selatan, hal ini membuat industri mode lokal khususnya batik menjadi rancu. Ada kekeliruan yang mau tidak mau menjadi sah-sah saja atas pertimbangan tertentu. "Kita dijejali hal yang imitasi tapi gimana ya? Gapapa juga? mereka perlu hidup," ujarnya.

Menyikapinya, Taruna menghimbau masyarakat agar tahu mana batik yang otentik dan tiruan. Ia melihat pendidikan akan Batik Indonesia sendiri tidak banyak orang yang tahu. Kebanyakan hanya tahu itu motif batik. Soal asal-usul, cerita di baliknya, batik yang ditulis, dicap atau hasil cetakan mesin, masih terbilang kurang.

Banyaknya masyarakat Indonesia yang masih senang membeli batik tiruan, selain harga yang terjangkau, juga karena faktor senang membeli imitasi dengan harga murah.

"Meskipun secara ekonomi berada dan mampu beli yang asli, orang kaya masih banyak yang pakai tas tiruan dan enggak peduli kalau hal itu jatuhin diri sendiri," kritiknya.

"Sosialisasi tentang batik masih kurang. Harus ada yang mencontohkan misalnya batik tulis yang bagus itu depan belakang tetap rapih motifnya. Batik yang benar itu, meskipun motif sama warna pasti beda, bahkan motif pun tidak bisa sama karena pengerjaan tangan manusia beda dengan dicetak mesin," pungkas desainer yang akrab disapa Nuna ini.

(fer/hst)
sumber: wolipop.com

Mengenal Batik Lebih Dalam dengan Segala Kisahnya

Tak kenal maka tak sayang, adalah ungkapan yang paling tepat untuk menjelaskan kecintaan masyarakat Indonesia terhadap batik. Motif kain tradisional warisan nenek moyang kita ini memang banyak dipakai, namun sedalam apakah Anda mengerti 'apa' yang Anda kenakan?

Batik yang sebenar-benarnya, tidak mungkin berharga Rp 30 ribuan. Ia tidak bisa dijual grosiran dengan harga murah. Dan yang terpenting, ia tak bisa sama satu sama lain. Jika sama, sudah pasti Anda sedang memakai batik tiruan yang dijual massal.

"Yang penting pakai batik," mungkin menjadi reaksi kebanyakan orang. Namun tahukah Anda proses membuat batik tidak semudah itu? Ia memerlukan ketelatenan menggunakan canting untuk menorehkan garis lilin malam yang memicu peluh. Belum lagi proses pewarnaan yang begitu rumit yang disebut loroh.

Dengan mengenakan batik tiruan, secara tidak langsung Anda berhenti mengonsumsi batik otentik yang dibuat para pengrajin. Otomatis roda industri akan berhenti secara perlahan dan motif batik yang tersisa hanyalah kopian semata.

Ulasan khusus Wolipop hari ini, Selasa (27/11/2012) mengangkat Batik. Mulai dari eksistensinya di kalangan pejabat, statusnya yang 'katanya' mendunia, hingga upaya beberapa orang untuk melestarikannya lewat pengenalan ke generasi muda.

Kamipun mengamati apa saja batik yang dikenakan para petinggi negara dan mengungkap makna di baliknya. Selebriti pun punya interpretasi sendiri lewat batik sebagai aktualisasi diri. Tidak ketinggalan memahami lebih dalam eksklusivitas selembar batik mentah yang mencapai harga puluhan juta rupiah. Wow!

Jika Anda memiliki segenggam waktu untuk mengenal bagaimana upaya yang dibuat para pengrajin hingga makna-makna yang tersimpan di dalam kurang lebih 3.300 motif batik, pastinya akan terkejut. Betapa selama ini kita telah perlahan mematikan lahan usaha para pengrajin batik di pedalaman namun berseru memperjuangkannya saat terancam diambil negara tetangga.

sumber:wolipop.com